Baudrillard, is yet to Learn

Simulacra pada Pusat Perbelanjaan Modern
Konsumsi dalam praktiknya telah menjadi salah satu faktor fundamental dalam membentuk cara pandang baru masyarakat karena itu mengkaji konsumsi dalam sudut pandang logika produksi dan kepentingan ekonomis semata akan mereduksi pandangan akan relasi kode sosialnya. Analisis mengenai produksi serta manipulasi penanda sosial adalah fokus utama Baudrillard.

Semiurgi menawarkan pembacaan mengenai manipulasi dan produksi penanda tersebut. Baudrillard menyebut simulacra sebagai rangkaian kode serta tanda yang tidak pernah merepresentasikan realitas sebenarnya. Demikian halnya Mall dan Town Square yang tak lain merupakan dunia simulasi bentukan dari simulacra. Dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa, jika simulacra yang terdapat dalam pusat perbelanjaan modern adalah sebuah identitas ‘cantik’, ‘keren’, ‘gaul’, ‘ganteng’, ‘taji’r demi sebuah eksistensi. Kesemua hal itu tergabung dalam sebuah simulacra kosmopolitan khas masyarakat urban yang lebih tertarik dengan eksistensi daripada esensi. Nilai-tanda dan nilai-simbol yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumsi. Pergeseran nilai yang terjadi seiring dengan perubahan karakter masyarakat urban.

Dalam konsumsi simbol Town Square dan Mall ada ciri lain khas kota yang juga memilki simulacra dan modus ajakan konsumsi yang suatu ciri yang hanya dimiliki pusat perbelanjaan modern yakni ciri kosmopolitan. Segala yang kita inginkan dapat dijumpai dalam Mall dan Town Square, sebuah ’tempat one stop shopping, untuk segala kebutuhan konsumsi anda’ citra dari jargon inilah yang kemudian muncul jika melihat fasilitas yang tersedia didalam Town Square dan Mall sehingga rasa-rasanya tak perlu pergi kemanapun untuk berbelanja. Mulai dari kebutuhan perut hingga rambut, rasa nyaman dan kenikmatan indera tiada tara, nyaman serta modern.

Konsep Town Square dan Mall sebenarnya mengadopsi konsep alun-alun kota yang menjadi jujukan penduduk sekitar untuk berkumpul dan menikmati segala sesuatu yang ada disana. Pada ulang tahun kota, bazaar dan carnival kerap turut serta meramaikan perayaan. Konsep itulah yang sebenarnya ditiru dan diduplikasi oleh Mall dan Town Square masa kini. Konsep perayaan ulang tahun kota diadopsi habis-habisan sehingga dapat berlangsung sepanjang waktu. Dengan demikian iming-iming akan harapan, keceriaan, dari perayaan seraya memanggil ”Datanglah kemari setiap saat keceriaan dan kehebohan perayaan Bazaar dan Carnival khas kota menunggu”. Simulacra yang diduplikasi dari konsep alun-alun kota, keramahan kota serta perayaannya berhasil memberikan simulasi dan menciptakan Hiperrealitas.

Dalam masyarakat simulasi seperti ini, segala sesuatu ditentukan oleh relasi tanda, citra dan kode. Tanda adalah segala sesuatu yang mengandung makna, yang mengikuti teori semiologi Saussurean memiliki dua unsur, yakni penanda (bentuk) dan petanda (makna). Citra adalah segala sesuatu yang nampak oleh indera, namun sebenarnya tidak memiliki eksistensi substansial. Sementara kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang kepada orang yang lain. Dalam dunia simulasi, identitas seseorang misalnya, tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri mereka dan hubungannya dengan orang lain punde,ikian dengan nilai dari identitas masyarakat urban. Lebih lanjut, realitas-realitas ekonomi, politik, sosial dan budaya, kesemuanya diatur oleh logika simulasi ini, dimana kode dan model-model menentukan bagaimana seseorang harus bertindak dan memahami lingkungannya.

Konsumsi pada saat ini bukan saja kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sebagai kegiatan yang dianggap untuk bertahan hidup. Pada saat ini, ketika anda sedang membeli, anda tidak hanya mendapatkan objek-objek yang berupa barang dan jasa saja, misalnya. Pada saat yang bersamaan, anda juga sedang membayar simbol, prestise, dan perbedaan-perbedaan status. Objek-objek konsumsi juga telah berperan sebagai media yang mengkomunikasikan atau mempresentasikan makna-makna tertentu. Sebagai contoh, kita memakai pakaian-pakaian mewah untuk mengkomunikasikan kekayaan dan status sosial kita. Semakin banyak mengkonsumsi, semakin susah pula untuk berhenti. Konsumsi memberikan efek candu pada pemakainya yang merasa ingin terus dan terus mengkonsumsi tanpa akhir.

Godaan Simulacra
Realitas simulasi lain yang menonjol adalah dunia shopping mall atau pusat perbelanjaan modern. Bersamaan dengan merebaknya konsumtifisme, budaya belanja menjadi salah satu ciri masyarakat dewasa ini. Dalam konteks inilah, pusat perbelanjaan modern hadir sebagai pusat gravitasi baru aktivitas masyarakat konsumer. Namun lebih dari sekedar tempat belanja, pusat perbelanjaan modern adalah sebuah dunia simulasi yang menampilkan realitas-realitas buatan yang bersifat semu, dimana justru dalam kesemuanya itulah ia lebih menyenangkan dibanding realitas sebenarnya.

Dalam pusat perbelanjaan modern, segala sesuatu direduksi, dimanipulasi dan disimulasi demi kenyamanan dan kesenangan belanja. Toko, restoran, bank, salon, bioskop, game center – dan objek-objek lain dalam pusat perbelanjaan modern – semuanya disuntik dengan tema-tema, seperti eksklusif, eksekutif, jiwa muda, kosmopolitan, natural atau citra country. Dalam pusat perbelanjaan modern, kita seolah-olah bertamasya di dalam suatu sirkuit, dari satu lingkungan tema ke lingkungan tema yang lain, di dalam suatu ekologi fantasi yang nyata namun dangkal, yang semakin menjauhkan kita dari makna-makna luhur.

Maka, tidak berlebihan jika di dalam mall, segala yang tidak menyenangkan seperti kemiskinan, gelandangan, bau sampah yang anyir, dan lain-lainnya direduksi menjadi seperengkat tema-tema menjanjikan dan menyenangkan yang disepakati bersama. Dengan demikian, realitas perkotaan yang sebelumnya berwajah biner, akan menjadi seragam didalamnya. Kemiskinan akan disulap menjadi kemewahan (semu), bau sampah direduksi seminimal mungkin menjadi bau wangi parfum, gelandangan berubah dengan sendirinya menjadi perlente (sementara). Adanya ruang realitas semacam inipun membuat kita semua bisa mereproduksi atau dan merekayasa segala sesuatu sampai batasannya yang terjauh. Ya, Sepertinya mall menyulap segala sesuatu yang tidak menyenangkan tampak indah seperti surga. Atau bahkan lebih indah dari surga.

Banalitas Konsumsi
Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumer. Pergeseran nilai yang terjadi seiring dengan perubahan karakter masyarakat postmodern.

Baudrillard menyatakan bahwa paradigma modernisme yang berdiri di atas logika produksi seperti disuarakan Marx kini sudah tidak relevan lagi. Jika era pra-modern ditandai dengan logika pertukaran simbolik (symbolic exchange), era modern ditandai dengan logika produksi, maka kini tengah menjelang sebuah era baru, yakni era postmodern, yang ditandai dengan logika simulasi. Bersamaan dengan lahirnya era postmodern, menurut Baudrillard, maka prinsip-prinsip modernisme pun tengah menghadapi saat-saat kematiannya.

Ungkapan ini bagi Baudrillard sekaligus menandakan keyakinannya akan datangnya era baru, era postmodern. Dalam era postmodern, prinsip simulasi menjadi panglima, dimana reproduksi (dengan teknologi informasi, komunikasi dan industri pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia.

Dalam dunia simulasi, identitas seseorang misalnya, tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri mereka dan hubungannya dengan orang lain. Lebih lanjut, realitas-realitas ekonomi, politik, sosial dan budaya, kesemuanya diatur oleh logika simulasi ini, dimana kode dan model-model menentukan bagaimana seseorang harus bertindak dan memahami lingkungannya.

Simulasi dan produksi model-model Simulacra
Dalam era simulasi ini, realitas tak lagi memiliki eksistensi. Realitas telah melebur menjadi satu dengan tanda, citra dan model-model reproduksi. Tidak mungkin lagi kita menemukan referensi yang real, membuat pembedaan antara representasi dan realitas, citra dan kenyataan, tanda dan ide, serta yang semu dan yang nyata. Yang ada hanyalah campur aduk diantara semuanya.

Simulasi pada kenyataannya dibangun berdasarkan model-model yang begitu cermat, semua model yang nyaris mendekati fakta, dan dimana model tampil mendahului fakta. Fakta kini tidak lagi memiliki alur sejarahnya sendiri, ia hadir dalam silang sengkarut bersama model-model; bahkan bisa jadi sebuah fakta diproduksi oleh model-model. Simulasi tidak berkaitan dengan sebuah teritori, sebuah acuan atau pun substansi. Simulasi adalah era yang dibangun oleh model-model realitas tanpa asal-usul; sebuah dunia hiperreal. Teritori tidak lagi hadir sebelum peta, atau membentuknya. Sebaliknya, petalah yang hadir sebelum teritori sebuah acuan simulacra petalah yang membentuk teritori. Dan jika saat ini kita masih ingin menghidup-hidupkan bahasa fabel, maka artinya saat ini adalah saat dimana teritori yang sedang membusuk secara perlahan-lahan membentang di atas sebuah peta. Adalah realitas nyata, dan bukan peta, yang bekas-bekasnya masih nampak dimana-mana, di sebuah gurun, bukan bekas sebuah kerajaan, melainkan bekas kita sendiri. Sebuah gurun realitas itu sendiri. Simulasi menyandarkan diri pada prinsip ketiadaan dan negasi, dengan cara mengaburkan bahkan menghilangkan referensi, realitas dan kebenaran, serta mengedepankan penampakan sebagai prinsip kebenaran.

Dengan demikian, era simulasi berawal dari proses penghancuran segala acuan referensi dan bahkan lebih buruk lagi: dengan merajalelanya acuan-acuan semu dalam sistem penandaan, maka sifat material ketimbang makna merasuk ke dalam semua sistem kesetaraan, oposisi biner dan semua bentuk kombinasi aljabar. Era simulasi tidak lagi berkaitan dengan persoalan imitasi, reduplikasi atau bahkan parodi. Era simulasi lebih tertarik mempersoalkan proses penggantian tanda-tanda real, bagi realitas itu sendiri, yakni suatu proses untuk menghalangi setiap proses real dengan mekanisme operasi ganda, sebuah konsep metastabil, terprogram, sebagai sebuah mesin penggambaran yang sempurna yang menyediakan semua tanda real dan serangkaian kemungkinan perubahannya. Hiperrealitas dengan demikian berbeda sama sekali dari yang real maupun yang imajiner, yakni suatu tempat bagi pengulangan secara kontinyu model-model dan perbedaan.

Dalam dunia simulasi seperti ini, prinsip-prinsip representasi modernisme menjadi tidak lagi relevan. Pembedaan antara objek dan subjek, real dan semu, penanda dan petanda, dalam paradigma modernisme tidak bisa lagi dilakukan. Dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam satu ruang yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu belaka. Ruang realitas semu ini merupakan ruang antitesis dari representasi semacam dekonstruksi representasi itu sendiri, dalam wacana Derrida. Dengan contoh yang gampang Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan sebuah analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari sebuah teritori, maka dalam mekanisme simulasi yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului teritori. Realitas-realitas teritorial sosial, budaya atau politik, kini dibangun berlandaskan model-model dari peta yang sudah ada. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model yang ditawarkan televisi, iklan atau tokoh-tokoh kartun. Adalah tempat-tempat seperti Disneyland, atau Universal Studio; bintang film seperti Madonna atau Leonardo de Caprio; iklan celana Levi’s atau jam tangan Guess; film telenovela Maria Mercedes atau Esmeralda; tokoh boneka Barbie, kartun Doraemon atau Mickey Mouse yang kini menjadi model-model acuan dalam membangun citra, nilai dan makna dalam kehidupan sosial, budaya serta politik masyarakat dewasa ini.

Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan (citra-citra) seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Lebih jauh, realitas buatan (citra-citra) kini tidak lagi memiliki asal-usul, referensi ataupun kedalaman makna. Tokoh Rambo, boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager yang merupakan citra-citra buatan adalah realitas tanpa referensi, namun nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan tetangga kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran, fakta dan objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas adalah realitas itu sendiri. Yakni, era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi. Dimana, yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu direproduksi.

Tak ada lagi cermin diri, penampakan, kenyataan dan konsep-konsep yang dikandungnya. Tak ada lagi pengembaraan imajiner: lebih dari itu, yang ada adalah miniaturisasi genetik sebagai ciri dimensi simulasi. Kenyataan kini dibentuk dari unit-unit miniatur, dari matriks, dan model-model acuan, dengannya kenyataan dapat direproduksi sampai jumlah yang tak terhingga. Kenyataan pun kini tak lagi harus rasional, karena ia tak lagi dapat diukur dengan ukuran-ukuran ideal. Kenyataan kini tak lebih dari apa yang beroperasi. Dan karena ia tak lagi dibungkus oleh imajinasi-imajinasi, maka kenyataan pun kini tak lagi real sama sekali. Kenyataan adalah hiperrealitas itu sendiri.

Simulasi dan Simulacra dalam menjelaskan konsep hiperrealitas itu sendiri. Simulasi adalah suatu proses dimana representasi (gambaran) atas suatu objek justru menggantikan objek itu sendiri, dimana representasi itu menjadi hal yang lebih penting dibandingkan objek tersebut. Analoginya, bila suatu peta merepresentasikan (menggambarkan) suatu wilayah, maka dalam simulasi, justru peta-lah yang mendahului wilayah. Di dalam wacana simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas dimana perbedaan antara yang benar dan palsu menjadi tipis (manusia hidup dalam suatu ruang khayal yang nyata). Misalnya discovery channel pada televisi, sebenarnya hampir sama nyatanya dengan pelajaran IPA di sekolah, karena sama-sama menawarkan informasi mengenai kehidupan flora dan fauna pada anak-anak.

Simulacra ini memungkinkan manusia untuk mendiami satu ruang yang sarat akan duplikasi dan daur ulang dari berbagai fragmen dunia yang berbeda-beda pada waktu yang sama. Misalnya masyarakat Surabaya yang mengkonsumsi kopi ala starbucks di tempat perbelanjaan Surabaya Town Square ataupun Mall-mall lainnya, atau remaja SMA yang saling berkenalan dalam facebook, twitter atau jejaring sosial pertemanan lainnya. Seperti halnya Mall yang merupakan bentuk hiperrealitas dari alun-alun kota yang tersenyum penuh kemunafikan, seolah-olah menegasikan kekerasan simbolik yang terjadi didalamnya.

Daftar Pustaka
Bagus, Loren. 1996.”Kamus Filsafat”. Jakarta: Pustakan Gramedia
Barthes, Roland, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.
_____________: “Myth Today”, dalam John Storey (Ed.), Cultural Theory and Popular Culture: A Reader, Harvester Wheatsheet, New York, 1994, hal. 107.
Baudrillard, Jean. 2006. Lupakan Postmodenisme. Kritik atas Pemikiran Foucault & Autokritik Baudrillard. (Judul asli Forget Foucault & Forget Baudrillard. Jimmy Firdaus Penerj) Yogyakarta : Kreasi Wacana.
_____________, 1968. The System of Objects (judul asli Le système des objets dan diterjemahkan ke dalam bahasa inggris pada tahun 1996)
_____________, 1970. The Consumer Society, Myths & Structures (judul asli La société de consummation dan diterjemahkan ke dalam bahasa inggris pada tahun 1998)
_____________, 1972. For a Critique of The Political Economy of The Sign (judul asli Pour une critique de l’économie politique du signe dan diterjemahkan ke dalam bahasa inggris pada tahun 1981)
_____________, 1976. The Mirror of Production (judul asli Le miroir de la production dan diterjemahkan ke dalam bahasa inggris pada tahun 1975)
_____________, 1976. Symbolic Exchange and Death (judul asli L’échange symbolique et la mort dan diterjemahkan ke dalam bahasa inggris pada tahun 1993)
_____________, 1978. In The Shadow of Silent Majority or, The End of Social and The Other Essays (judul asli A l’ombre des majorités silencieuses, ou la fin du social dan diterjemahkan ke dalam bahasa inggris pada tahun 1983)
_____________, 1979. Seduction (judul asli De la séduction dan diterjemahkan ke dalam
_____________, 1983. Fatal Strategies (judul asli Les stratégies fatales dan diterjemahkan ke dalam bahasa inggris pada tahun 1990)
_____________, 1983. Simulations, Semiotext(e), New York
_____________, 1984. On Nihilsm, dalam jurnal On The Beach 6, New York
_____________, 1987. The Ecstassy Of Communication, Semiotext(e), New York
_____________, 1989. America, Routledge, New York
_____________, 1990. Cool Memories, Verso, London
_____________, 2001. M Imam Aziz (ed). Galaksi Simulakra, Yogyakarta. LKiS.
_____________, 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bertens K. 2001. Filsafat Barat Kontemporer. Cetakan III , Edisi Revisi dan Perluasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
_____________, 2006. Filsafat Barat Kontemporer, Cetakan IV, Edisi Revisi dan Perluasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Bowie, M. 1991. Lacan. Cambridge (Mass): University of Massachusett Press.
Craib, Ian. 1994. Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parson sampai Habermas (Paul S. Baut, T. Effendi Penerj). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Derrida, Jacques. 2005. Kosmopolitanisme dan Ampunan (judul asli Cosmopolitanism and Forgiveness). Yogyakarta: Alinea.
Gordon, W. Terrence. 2002. Saussure untuk pemula. saduran Mei Setiyanta dan Hendrikus Panggalo. Yogyakarta : Kanisius
Gramsci, Antonio. 2001. Catatan-catatan politik. Surabaya: Pustaka Promethea.
Hoed, Benny H. 2003. Strukturalisme De Saussure di Prancis dan Perkembangannya; dalam Perancis dan Kita ? Strukturalisme, Sejarah, Politik, Film, dan Bahasa. Jakarta: WWS.
Lechte, John. 2001.”50 Filusuf Kontmporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas”. Yogyakarta: Kanisius
Lemaire, Anika. 1970. Jacques Lacan. Disadur oleh David Macey. London: Routledge & Kegan Paul.
Lubis, Akhyar Yusuf (2006). Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Maulana, Ahmad dkk. 2004. Kamus Ilmiah Populer Lengkap Dengan EYD dan Pembentukan Istilah Serta Akronim Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Absolut.
Panuti, Sujiman dan Aart van Zoest (Ed.). 1991. Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta,
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia Yang Dilipat. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra
______________. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
______________. 1998. Dunia Yang Dilipat. Jakarta: Jalasutra.
Poloma, Margareth M. 1984. Sosiologi Kontemporer. Surabaya: Rajawali.

Comments

Popular Posts