LANJUTKAN MIMPIMU, MISKIN….

MASIHKAH KAU MENCINTAIKU, dengan tema “Aku dipisahkan dari istri dan anakku….”. Rabu 10 Juni 2009, saya lupa kira-kira jam berapa pastinya acara ini dimulai. Acara yang awalnya – jujur saja – sedikit saya pandang sebelah mata ini, berhasil sedikit membuka sebelah mata saya.

Alkisah, hadir dua keluarga yang sedang bermasalah. Di “sudut biru” pihak keluarga Heri (dan keluarga besarnya) dan di “sudut merah” pihak keluarga Retno (dan juga keluarga besarnya). Sesuai dengan tema diatas, pihak keluarga Retno (khususnya ibunya Retno dan kakaknya yang juga dihadirkan) merasa “terhina” jika Retno berhubungan/bersuamikan seorang Heri yang beribukan seorang tukang sayur dan mempunyai pekerjaan sebagai pegawai negeri yang bagi pihak keluarga Retno, pegawai negeri adalah pekerjaan yang cukup hina dan tidak punya masa depan, apalagi melihat kedudukan dan “keberadaan” keluarga mereka yang bagi mereka sangat tidak bisa dibandingkan. Pihak keluarga Retno yang super kaya itu pun tidak hentinya menghujani pihak keluarga Heri dengan umpatan-umpatan yang menurut saya tidak pantas diucapkan selama acara tersebut berlangsung, jika kita mengacu pada persamaan bahwa orang kaya = pintar = terpelajar = sopan. Pihak keluarga Heri pun seolah-olah berhasil mendapatkan momentum untuk mencari simpati penonton dengan sikap tenang, mungkin terlihat pasrah dan terbiasa menerima makian dan cacian yang bertubi-tubi walaupun sesekali melontarkan balasan yang tampaknya tidak sebanding. Pihak mediator yang salah satunya seorang psikolog berpendapat bahwa pihak keluarga Retno sepertinya enggan untuk melihat masalah dari kedua sisi. Untungnya, ayah dari Retno bersikap sedikit lebih kooperatif dan bahkan diakhir acara, dia mengatakan bahwa sudah bosan dengan kehidupannya dengan istrinya karena melulu soal harta dan bahkan mewariskan perusahaannya untuk Retno dan Heri. Singkat cerita, beberapa pertanyaan yang dilontarkan secara sembunyi-sembunyi untuk Heri dan Retno, berhasil menemui kecocokan (match, menurut istilah acara tersebut) atau dengan kata lain, cinta sejati mengalahkan segalanya (sampai disini, si miskin keluar sebagai pemenang).

Saya ingin menyampaikan (lepas dari acara tersebut hanya rekayasa, dibuat-buat ataupun memang realitas), hal-hal seperti ini sepertinya banyak terjadi dimasyarakat kita dewasa ini. Money (oriented) sepertinya sudah menjadi the way of life dan syarat sahnya pasangan untuk menjalin hubungan, menikah dan bahagia. Akibatnya, demi memuaskan hasratnya akan money, orang-orang rela melakuan apa saja. Ya, apa saja (walaupun sebagian orang lainnya tentunya mempunyai alasan yang berbeda-beda). Selain itu, hal-hal semacam ini bermunculan ditengarai berasal dari menjamurnya reality-reality show yang menurut saya hanya menjual mimpi akan datangnya seorang ratu adil yang dengan cepat merubah nasib mereka, dan sinetron-sinetron yang menurut saya termasuk kategori another stupid movie/film (lebih jelas mengenai sinetron dan buntutnya, baca ulasan “sin(e)drom” saudara Priyo Pahenggar alias Proy alias Cirenk).

Reality-reality show tersebut (sebutlah “jika aku menjadi”) sepertinya berhasil menyetir pola pikir masyarakat untuk mengafirmasi bahwa kehidupan yang nyaman, bahagia dan beradab adalah tidur di spring bed empuk, punya kulkas, televisi, selalu makan nasi, kerja dikantor, pakai dasi, ruangan ber AC, naik mobil, pakai handphone buatan amerika yang modelnya dumpy (baca: gundhek), dll. Oleh karena itulah mereka merasa aneh dan (mungkin) jijik ketika melihat orang “desa” tidur di ubin, tidak punya kulkas, tidak punya televisi, kadang makan nasi kadang makan sagu atau jagung, kerjanya pemulung atau petani atau penjual krupuk atau pedagang asongan, jalan kaki atau naik sepeda pancal, tidak punya alat telekomunikasi, anak-anaknya ikut jadi pemulung atau hanya seorang tukang bangunan, dll. Sehingga mereka seolah-olah punya hak dan “tanggung jawab moral” untuk mengangkat orang-orang “desa” tersebut dari – apa yang mereka sebut dengan – penderitaan, kemiskinan dan kebiadaban. Dengan “kelebihan hartanya”, seolah-olah mereka merasa mendapat wahyu dari langit sebagai dewa penolong, malaikat, nabi dan rasul untuk menyelamatkan si “desa” dari kebejatan dan ke-bar-bar-an. Atau dengan kata lain, mereka merasa punya kehidupan “ideal” yang “wajib” untuk diikuti orang lain (role model).

Kondisi masyarakat dewasa ini sepertinya sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Guy Debord sebagai masyarakat tontonan (society of spectacle). Masyarakat tontonan (society of spectacle) adalah masyarakat yang hampir disegala aspek kehidupannya dipenuhi oleh berbagai bentuk tontonan dan menjadikannya sebagai rujukan nilai dan tujuan hidup. Selain itu, tontonan memanipulasi dan mengeksploitasi nilai-guna (use-value) dan kebutuhan manusia sebagai sarana memperbesar keuntungan dan kontrol ideologis atas manusia. Dalam masyarakat tontonan (spectacle society), segala sesuatu ditampilkan sebagai citra-citra yang bahkan tampak lebih real dibanding realitas sebenarnya. Inilah awal dimana tempat lahirnya masyarakat hipperrealitas (hyperreality society). Lagi, menurut Guy Debord,

“Considered in its own terms, the spectacle is affirmation of appearance and affirmation of all human life, namely social life, as mere appearance” (Kellner 1994;1950). Berdasarkan pengertiannya, tontonan berarti pengakuan akan penampakan dan pengakuan terhadap seluruh aspek kehidupan manusia, yakni kehidupan sosial, sebagai sekedar penampakan belaka.

Lalu pertanyaannya, why money? What happened with money? Hal ini cukup terjelaskan ketika kita menyimak ucapan Marx yang dikutip Kellner dan dikutip oleh saya :

“With money, one can possess various human qualities. That which exists for me through the medium of money, that which I can pay for. Which money can buy, that am I, the possession of money. The extent of the power of money is the extent of my power. Moneys properties are my properties and essential powers the properties and powers of it possessor (Kellner 1994: 44)”
“Thus, what I am and am capable of is by no means determined by my individuality. I am ugly, but I can buy for myself the most beautiful of women. Therefore, I am not ugly, for the effect of ugliness its determinant power is nullified by money. In a society where human beings are thigs, things (money) take in human power. All the things which you cannot do, your money can do. And conversely, what money cannot do, seemingly cannot be done (Kellner 1994: 45)

(Dengan uang, seseorang dapat memiliki berbagai kualitas hidup manusia. Bahwa apa yang bisa saya miliki dengan sarana uang, saya bisa bayar, dan uang bisa membelinya, itulah saya, si pemilik uang tersebut. Bertambah besarnya kekuasaan uang adalah bertambah besarnya kekuasaan saya. Apa yang bisa dimiliki uang adalah milik dan kekuasaan utama saya si pemilik uang).
(maka siapa saya dan apa keahlian saya tidaklah ditentukan oleh individualitas saya. Saya bertampang jelek, namun saya bisa membeli wanita tercantik yang saya inginkan. Saya kini tidak lagi jelek, karena efek kejelekan tersebut sebagai factor determinan telah dihapuskan oleh uang. Dalam masyarakat dimana manusia telah berubah menjadi benda, maka benda pulalah (uang) yang akan menggantikan kekuasaan manusia. Segala sesuatu yang anda tidak dapat lakukan, uang anda bisa melakukannya, maka ia juga tidak dapat dilakukan).

Konsumsi kini telah menjadi faktor fundamental dalam ekologi spesies manusia (Baudrillard, 1970: 29). Selain itu, dalam masyarakat konsumer, konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh hasrat (desire) akan kebutuhan, melainkan hasrat (desire) untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas. Dengan kata lain, money didudukkan sebagai satu-satunya sarana penilaian komoditi yang bersifat independen. Money menjadi bahasa baru yang dapat membentuk, memberi makna dan bahkan membeli realitas. Ya, sepertinya money bisa membeli apapun di dunia ini dan tampaknya si miskin akan kembali mengalami kekalahan. Ya, lanjutkan mimpimu, miskin….

Andi Aulia Anwar
(Ndick)
Lembaga Studi Urban (LSU)



Referensi:
http://drgsubur.files.wordpress.com/2008/04/jean-baudrillard-postmodernisme.pdf.
http://www.google.com/search?q=cache:958u0tIlIQwJ:drgsubur.files.wordpress.com/2008/04/jean-baudrillard-postmodernisme.pdf+Baudrillard&hl=id&ct=clnk&cd=12&gl=id&lr=lang_id

Comments

Popular Posts