SHOPPING MALL: Pusaran Kuasa Atas Obesitas Konsumerisme

Perkembangan kapitalisme lanjut (late capitalism) semenjak tahun 1920-an menunjukkan perubahan dramatis karakter produksi dan konsumsi dalam masyarakat konsumer. Bila dalam era kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan yang membentuk pasar kapitalisme kompetitif, maka dalam era kapitalisme lanjut, konsumsi menjadi komandan lapangan baru kapitalisme yang juga berubah menjadi semakin bersifat monopoli. Sejak tahun 1960-an, kedudukan dominan faktor konsumsi bahkan tidak hanya dalam kawasan ekonomi. Lebih dari era-era sebelumnya, kini konsumsi menjadi motif utama dan penggerak realitas sosial, budaya, bahkan politik. Dalam era ini, segala upaya ditujukan pada penciptaan dan peningkatan kapasitas konsumsi melalui pemassalan produk, differensiasi produk dan manajemen pemasaran. Iklan, teknologi kemasan (packaging), pameran, media massa dan shopping mall merupakan ujung tombak strategi baru era konsumsi. Dan tema yang coba dientaskan oleh penulis disini adalah fenomena shopping mall.

Shopping Mall merupakan sebuah perpaduan cantik nan agung dari dua buah wacana, komoditi dan tontonan. Perkembangan mutakhir sebuah kota – Surabaya khususnya – telah mentranformasikan kegiatan belanja yang sebelumnya hanyalah kegiatan jual beli semata menjadi satu kegiatan waktu senggang (baca: wajib) yang menjanjikan kesenangan dan fantasi. Sistem perbelanjaan modern dewasa ini benar-benar menyuguhkan rangkaian produk, pelayanan suasana, serta lingkungan yang selalu direproduksi secara terus-menerus. Dalam masyarakat konsumer yang serba mutakhir kini, objek-objek konsumsi yang berupa komoditi tidak lagi sekedar memiliki manfaat (nilai guna atau use-value) dan harga (nilai tukar atau exchange value). Namun, hal tersebut lalu ter-manifestasikan dalam bentuk status, prestise, dan kehormatan (nilai tanda atau sign-value dan nilai simbol atau symbolic-value). Status, prestise, dan kehormatan adalah motif utama aktifitas konsumsi masyarakat konsumer. Konsumsi inilah yang membuat seluruh aspek-aspek kehidupan tak lebih dari objek, atau dengan kata lain menjadi objek konsumsi yang berupa komoditi. Fungsi utama objek-objek konsumer bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai tanda (sign-value) dan nilai simbol (symbolic-value) yang disebarkan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media, sementara itu, jelaslah bahwa arena pertarungan gladiator-gladiator lapar mata tersebut berada di shopping mall. Ya, shopping mall. Sebuah arena pertarungan para gladiator yang menuntut mereka untuk mempunyai keahlian dalam memburu mangsanya (baca: barang incarannya). Kecepatan tangan dan kaki, lirikan mata dan intuisi yang tajam, ketepatan mengendus mangsa, dan daya jelajah yang tinggi adalah beberapa hal yang wajib dimiliki oleh mereka untuk bisa bertahan hidup dalam arena ini.

Salah satu contoh arena pertarungan para gladiator tersebut ada di sebuah mall yang terletak di pusat kota Surabaya. Ya, Tunjungan Plaza, salah satu oknum lawas yang bertanggung jawab atas merebaknya budaya (baca: obesitas) konsumerisme yang mewabah di Surabaya. Midnight sale, diskon pertengahan tahun, diskon akhir tahun, dan event-event lain dengan sengaja diciptakan tiada lain dan tiada bukan sebagai alat pemicu detak jantung masyarakat urban di Surabaya agar terus terpacu dan berpacu dalam memburu mangsanya (baca: barang buruannya). Harga ditekan (seolah-olah) sedemikian rupa rendahnya juga sebagai alat perayu agar logika berpikir masyarakat jatuh kedalam titik nadir sehingga yang bermain pada wilayah itu hanyalah logika atas hasrat (desire) dalam belanja dan bukan logika atas kebutuhan (need).

Selain sebagai komoditi, shopping mall juga menghadirkan sesuatu lainnya yang tidak kalah menarik. Hal itu adalah tontonan. Sebuah fenomena yang dulunya bergerak merayap dan merangkak dibawah tanah, sepertinya sudah waktunya membuncah keluar untuk tampil di panggung-panggung sosial yang dengan sengaja diciptakan akibat tuntutan modernisasi disegala bidang kehidupan. Sebuah mall dikawasan Hayam Wuruk bisa menjelaskannya dengan cukup rapi dan sistematis. Sutos adalah singkatan yang cukup manis dari Surabaya Town Square, Sebuah potret realitas (atau sudah menjadi hiperrealitas?) dimana setiap malamnya (khususnya malam minggu) menjadi tempat yang bisa dikatakan sebagai arena pertarungan berbagai macam branded dan style yang dikenakan oleh pengunjung. Tidak semua, tapi lebih dari sebagian orang yang datang hampir selalu memakai pakaian/setelan “kebesarannya” (baca: style terbaru), karena predikat out of date atau kuno adalah hantu yang menakutkan bagi mereka. ”Jemaat” yang sering ”beribadah” disini, sepertinya akan paham ritual-ritual yang dilakukan. Setelah memarkir kendaraan dengan rapi, ”jemaat” seolah-olah dituntun oleh semacam aturan tidak tertulis untuk ”naik” ke ”panggung” yang telah tersedia untuk berjalan berkeliling sembari menunjukkan (atau lebih tepatnya memamerkan) apa yang hari itu mereka pakai, setidaknya berputar satu kali di lantai satu dan satu kali di lantai dua. Selain ritual berkeliling, ”jemaat” biasanya mengenal ritual lainnya yang disebut ”absensi”. Biasanya, sembari berjalan mengelilingi ”rumah ibadah”, ”jemaat” juga seolah-olah dituntun untuk celingukan ke kanan dan ke kiri mencari perhatian ”jemaat” lainnya yang telah duduk santai di gerai-gerai atau kedai makanan dan minuman yang tersedia sembari berharap-harap ada yang mengenalinya atau memanggilnya, lalu kemudian terjadi percakapan yang cukup hangat selama beberapa menit, dan jikalau telah selesai berbincang hangat, ”jemaat” akan meneruskan ”ritualnya” sampai ia merasa puas dan lega (tidak ada standarisasi khusus atau penyeragaman durasi waktu ritual, semuanya diserahkan pada kapabilitas ”jemaat”). Dengan begitu, biasanya ”ritual” akan selesai dan ”jemaat” akan memilih tempat favoritnya untuk duduk nongkrong sambil menghabiskan apapun yang ada disitu. Bisa makanan, minuman atau bahkan waktu sekalipun.

Lifestyle di Indonesia dewasa ini, khususnya di kota Surabaya semakin lama dirasa-rasa semakin mengafirmasi kebudayaan barat (were-west) untuk sebagian hal. Seperti cara berpakaian, cara berbicara, penggunaan alat transportasi, penggunaan alat informasi dan telekomunikasi hingga (mungkin) pemilihan pakaian dalam. Peng-afirmasian yang cukup brutal dan cuma-cuma ini sejalan dengan apa yang disebut dengan dunia simulasi, yaitu dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi.

Mekanisme sistem konsumsi manusia pada dasarnya sekarang ini cenderung berpijak pada sistem nilai tanda (sign-value) dan nilai simbol (symbolic-value) daripada nilai guna (use-value) dan nilai tukar (exchange-value). Aktivitas konsumsi manusia pada dasarnya dewasa ini bukan dilakukan karena alasan kebutuhan (rasional-kalkulatif), namun lebih kepada alasan simbolis (irrasional), yaitu: kebanggan (pride), status dan prestise yang kesemua dari tiga hal ini adalah manifestasi dari symbolic-value dan sign-value. Apa yang kita beli akhirnya tidak lebih dari sekedar tanda-tanda yang ditanamkan ke dalam objek-objek konsumsi, yang membedakan pilihan orang satu dengan lainnya. Tema-tema gaya hidup tertentu, kelas dan prestise menjadi seperangkat sistem klasifikasi status sosial di masyarakat. Stratifikasi sosial seseorang bahkan ditentukan dari, misalnya, mobil apa yang dipunyai (branded minded).

Konsumsi kini telah menjadi faktor fundamental dalam ekologi spesies manusia. Selain itu, konsumsi kini juga menjadi panggung sosial, sebuah tempat yang di dalamnya terjadi kudeta atas makna dan identitas antar subyek. Kesemuanya saling memperebutkan identitas atau katakanlah semacam citra ”keren”, ”cakep”, ”gaul”, ”tajir” dan berbagai istilah lainnya yang sebisa mungkin menjadikan mereka menjadi panutan bagi lainnya. Padahal, semakin jauh melangkah semakin tidak jelaslah siapa meniru siapa yang ditiru. Ya, semacam duplikasi dari duplikasi sehingga semakin susah dikenali mana yang asli dan mana yang palsu, mana hasil produksi dan mana yang reproduksi, atau mana subjek dan mana objek. Maka, tidak berlebihan jika di dalam shopping mall, segala yang tidak menyenangkan seperti kemiskinan, gelandangan, bau sampah yang anyir, dan lain-lainnya direduksi menjadi seperengkat tema-tema menjanjikan dan menyenangkan yang disepakati bersama. Dengan demikian, realitas perkotaan yang sebelumnya berwajah biner, akan menjadi seragam didalamnya. Kemiskinan akan disulap menjadi kemewahan (semu), bau sampah direduksi seminimal mungkin menjadi bau wangi parfum, gelandangan berubah dengan sendirinya menjadi perlente (sementara). Adanya ruang realitas semacam inipun membuat kita semua bisa mereproduksi atau dan merekayasa segala sesuatu sampai batasannya yang terjauh. Ya, Sepertinya mall menyulap segala sesuatu yang tidak menyenangkan tampak indah seperti surga. Atau bahkan lebih indah dari surga.

Silahkan anda berpikir sejenak dan menilai. Salam

Ndick
LSU



Referensi:

Lubis, Akhyar Yusuf (2006). Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia Yang Dilipat. Yogyakarta & bandung: Jalasutra

Sarup, M. (2004). Posstrukturalisme dan Posmodernisme, Sebuah Pengantar Kritis (Cetakan Kedua) (M. A. Hidayat Penerj.). Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Hamsah, Ustadi, ”Jean Baudrillard”, Jurnal Studi Agama-agama Religi, No. 1, vol. III (2004).

Surabaya Town Square dikala petang

Tunjungan Plaza dikala 'perang'

Comments

Popular Posts