THE NEW NORMAL: CORONA, SIMULACRA DAN LENYAPNYA (HIPER)REALITA.






CORONA

Semua berawal dari medio akhir 2019. Salah satu negara (yang sekarang katanya) adikuasa, Republik Rakyat Tionghoa mengumumkan ada virus berbahaya yang akan menghancurkan dunia. Sontak hampir semua negara tertawa dan tidak percaya. Enam bulan setelah itu, dunia lumpuh. Semua lini hancur lebur, ambyar kata alm Didi Kempot. Bagaimana bisa sebuah virus yang nama ilmiahnya ada CoVid-19 ini bisa dengan gagah menyapu bersih dan melululantakkan peradaban dunia? Penulis tidak akan membahas dari sisi kesehatan karena penulis sendiri sering sakit-sakitan. Hahahaha. Penulis lebih memilih melihat dari sisi yang lain yang mungkin menjadi sudut mati bagi sebagian orang.

Corona (panggilan akrabnya demikian) sekarang adalah trending topik dunia. Dari sebuah virus dan sekarang menjadi satuan waktu. Kok bisa? Bisa. Coba tanya seorang teman yang punya usaha, “Kapan nih usahanya mulai buka lagi?” jawabannya adalah, “habis Corona boss!”. Corona bagai tombol restart dalam kehidupan dewasa ini. Begitu ditekan, semuanya kembali ke awal. Seolah-olah kembali ke masa sebelum revolusi industri dimana dunia masih luhur dengan segala kebutuhan yang sesuai dengan kemampuan. Saat itu hampir seluruh dunia menggunakan use-value sebagai nilai tukar kehidupan, maka tidak jarang orang menukar kerbaunya dengan sekarung beras, menukar beberapa gram emas dengan sekantong jagung. Ya, tidak ada nilai tambah yang mengikuti karena memang barang-barang yang dipertukarkan sesuai dengan kebutuhan.

Lalu muncullah revolusi industri yang diikuti oleh tumbuhnya alat tukar internasional, uang. Industri dimana-mana muncul, perang sebagai jalan politik dan kekuasaan sebagai cara untuk merebut sumber daya di negara tertentu. Penaklukan dan diikuti dengan eksploitasi sumber daya alam dan manusia.  Konsumsi yang awalnya sebagai sebuah cara bertahan hidup perlahan-lahan berubah fungsi menjadi penegasan tingkat status sosial. Hal ini sejalan dan sebangun dengan perkembangan kapitalisme lanjut yang terjadi hampir diseluruh bagian dunia.

Perkembangan kapitalisme lanjut (late capitalism) semenjak tahun 1920-an menunjukkan perubahan dramatis karakter produksi dan konsumsi dalam masyarakat. Bila dalam era kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan yang membentuk pasar kapitalisme kompetitif, maka dalam era kapitalisme lanjut, konsumsi menjadi komandan lapangan baru kapitalisme yang juga berubah menjadi semakin bersifat monopoli. Sejak tahun 1960-an, kedudukan dominan faktor konsumsi bahkan tidak hanya dalam kawasan ekonomi. Lebih dari era-era sebelumnya, kini konsumsi menjadi motif utama dan penggerak realitas sosial, budaya, bahkan politik. Dalam era ini, segala upaya ditujukan pada penciptaan dan peningkatan kapasitas konsumsi melalui pemassalan produk, differensiasi produk dan manajemen pemasaran. Iklan, teknologi kemasan (packaging), pameran, media massa dan shopping mall beserta turunannya merupakan ujung tombak strategi baru era konsumsi.

Dalam masyarakat konsumer yang serba mutakhir kini, objek-objek konsumsi yang berupa komoditi tidak lagi sekedar memiliki manfaat (nilai guna atau use-value) dan harga (nilai tukar atau exchange value). Namun, hal tersebut lalu ter-manifestasikan dalam bentuk status, prestise, dan kehormatan (nilai tanda atau sign-value dan nilai simbol atau symbolic-value). Status, prestise, dan kehormatan adalah motif utama aktifitas konsumsi masyarakat konsumer. Konsumsi inilah yang membuat seluruh aspek-aspek kehidupan tak lebih dari objek, atau dengan kata lain menjadi objek konsumsi yang berupa komoditi. Fungsi utama objek-objek konsumer bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai tanda (sign-value) dan nilai simbol (symbolic-value) yang disebarkan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media. Jean Baudrillard menyebut ini sebagai simulacra yaitu sebagai rangkaian kode serta tanda yang tidak pernah merepresentasikan realita sebenarnya.


SIMULACRA (dan logika simulasi) 

Simulacra bermain di wilayah eksistensi bukan esensi. Kesemua hal itu tergabung dalam sebuah simulacra kosmopolitan khas masyarakat urban yang lebih tertarik dengan eksistensi daripada esensi. Nilai-tanda dan nilai-simbol yang berupa status, prestise, dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumsi. Pergeseran nilai yang terjadi seiring dengan perubahan karakter masyarakat urban. Yang dikejar adalah sebuah identitas ‘cantik’, ‘keren’, ‘gaul’, ‘ganteng’, ‘tajir demi sebuah eksistensi. 

Dalam masyarakat yang mengagungkan eksistensi seperti ini, segala sesuatu ditentukan oleh relasi tanda, citra dan kode (logika simulasi). Tanda adalah segala sesuatu yang mengandung makna, yang mengikuti teori semiologi Saussurean memiliki dua unsur, yakni penanda (bentuk) dan petanda (makna). Citra adalah segala sesuatu yang nampak oleh indera, namun sebenarnya tidak memiliki eksistensi substansial. Sementara kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang kepada orang yang lain. Dalam logika simulasi, identitas seseorang misalnya, tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri mereka dan hubungannya dengan orang. Lebih lanjut, realitas-realitas ekonomi, politik, sosial dan budaya, kesemuanya diatur oleh logika simulacra ini, dimana kode dan model-model menentukan bagaimana seseorang harus bertindak dan memahami lingkungannya. 

Konsumsi pada saat ini bukan saja kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sebagai kegiatan yang dianggap untuk bertahan hidup. Pada saat ini, ketika anda sedang membeli, anda tidak hanya mendapatkan objek-objek yang berupa barang dan jasa saja, misalnya. Pada saat yang bersamaan, anda juga sedang membayar simbol, prestise, dan perbedaan-perbedaan status. Objek-objek konsumsi juga telah berperan sebagai media yang mengkomunikasikan atau mempresentasikan makna-makna tertentu. Sebagai contoh, kita memakai pakaian-pakaian mewah untuk mengkomunikasikan kekayaan dan status sosial kita. Semakin banyak mengkonsumsi, semakin susah pula untuk berhenti. Konsumsi memberikan efek candu pada pemakainya yang merasa ingin terus dan terus mengkonsumsi tanpa akhir. 

Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumer. Pergeseran nilai yang terjadi seiring dengan perubahan karakter masyarakat postmodern. 

Baudrillard menyatakan bahwa paradigma modernisme yang berdiri di atas logika produksi seperti disuarakan Marx kini sudah tidak relevan lagi. Jika era pra-modern ditandai dengan logika pertukaran simbolik (symbolic exchange), era modern ditandai dengan logika produksi, maka kini tengah menjelang sebuah era baru, yakni era postmodern, yang ditandai dengan logika simulasi. Bersamaan dengan lahirnya era postmodern, menurut Baudrillard, maka prinsip-prinsip modernisme pun tengah menghadapi saat-saat kematiannya. 

Ungkapan ini bagi Baudrillard sekaligus menandakan keyakinannya akan datangnya era baru, era postmodern. Dalam era postmodern, prinsip simulasi menjadi panglima, dimana reproduksi (dengan teknologi informasi, komunikasi dan industri pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia.


LENYAPNYA (HIPER)REALITA 

Setelah berlomba-lomba dalam eksistensi tetiba datanglah Corona dengan dua panglima perangnya yang terkenal kejam dan sadis. Sebut saja namanya LOCKDOWN dan PSBB. Modus operandinya serupa, pelarangan dan pembatasan segala kegiatan dalam skala besar. Semuanya diharuskan bergerak berdasarkan dengan kebutuhan. Semuanya kembali ke awal, semuanya dilakukan hanya untuk kebutuhan hidup bukan gaya hidup. 

(Hiper)realita yang selama ini kita jalankan ternyata semu. Terlalu banyak hal-hal yang tidak didasari dengan kebutuhan hidup. Kita yang secara tidak sadar mengalami “kekerasan simbolik” selama ini dipaksa untuk belanja, belanja dan belanja demi sebuah symbolic value sekarang kembali ke titik awal. Kita semua didorong untuk fokus bertahan hidup. 

Satu-satunya cara selama vaksin belum ditemukan adalah dengan ber-jarak. Betul, ber-jarak, dengan apapun. Social distancing, physical distancing, berjarak dengan kemewah-mewahan, berjarak dengan hal-hal yang tidak perlu dilakukan. Selain itu menggunakan masker sebagai first barrier dan langkah pencegahan terbukti cukup ampuh untuk memutus mata rantai penyebaran CoVid 19 yang massif dan sangat cepat menyebarnya. 

Saatnya kita semua menjadi sadar dan kembali menuju kehidupan yang sejatinya luhur dan memaknainya secara utuh sebagai bagian dari esensi kehidupan. Silahkan anda berfikir sejenak dan menilai karena kesimpulan itu milik pembaca. Salam.



Oscar de Marco
sentimentalist

Comments

Popular Posts